Kamis, 10 Juli 2014
00:40 p.m
datar itu kini terkikis habis
bagai keju terparut oleh pemarutnya
bagai tenggakan segelas sirup merah di siang panas
bagai coklat pahit di atas wajan, meleleh
kini lambat laun manis menyapaku
mempersilakanku menyicipi bunga-bunga kembang api di gelap langit tahun baru
meluncur...
meledak...
memuntahkan palet warna kejutan
aku terkejut
aku terkejut dalam genangan kebahagiaan
you're the apple to my pie
you're the straw to my berry
kau kenalkanku pada bahagia, lagi
kenalkanku pada rindu, lagi
kenalkanku pada rasa memiliki, lagi
setelah lama dalam datar
lupa dalam kesendirian
tersesat dalam kenangan
ingatkanku pada jantung yang berdegup
kembali ingatkan rasa manisnya cemburu
seakan tuangkan soda dalam gelas minumku
meletup
segar
seperti baru
satu, dua, tiga..
hitung saja terus
karena terima kasih ini bak bintang di atas kepala
satu, dua, tiga..
sebanyak itulah yang akan ku sampaikan
barisan kata tak cukup untuk tumpahkan rasa
doa kupanjat demi kebaikan dua
harap biru tak lagi menjelma
tak lagi datang padaku
dan padamu
maksudku, pada kita berdua
good night.
PS: semoga yang dituju tak pernah melihat. bagian yang dicetak miring dikutip dari lagu Perfect Two by Auburn.
Rabu, 09 Juli 2014
Sabtu, 17 Mei 2014
Masih
Sabtu, 17 Mei 2014
11:39 p.m
I'm still lost
.
.
.
.
.
gue masih bingung sama diri gue sendiri. I'm still looking the true of me. kasarnya sih begini, gue masih belum nemuin jati diri gue yang sebarnya. pernah suatu saat dimana gue harus bertarung mati-matian ngelawan biru, gue dipaksa untuk introspeksi diri, evaluasi diri, dan bahkan berubah. berhasil. gue berubah menjadi sedikit lebih baik walaupun gak bisa dibilang berubah total. gue berubah dari yang selalu keliahatan letoy dimanapun-kapanpun jadi 'oh-well-whatever-you-do-I-really-don't-give-a-fuck'. ya semacam itulah, gak peduli apa yang orang lain pikirin, sampai pada titik someone told me 'oh dear, I'm your biggest fan. and I love your rebel style.' gue bahagia pada saat itu. seengaknya gue merasa beda dari cewek kebanyakan. dan seenggaknya pada saat itu gue ngerasa udah nemuin jati diri gue.
sampai pada saatnya gue harus melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, dipaksa masuk dalam dunia baru, lingkungan baru, teman-teman baru, semuanya serba baru. satu kata, SERU. kenalan dengan manusia yang bentuk wajahnya macem-macem, logat bicarannya lucu-lucu, sifatnya bervariasi, dengan latar belakang yang nyaris beda-beda semuanya. baru kali ini terjun langsung menghadapi orang-orang yang gak pernah dibayangin sebelumnya, ditambah kampus gue maksa mahasiswa tahun pertamanya tinggal di asrama yang fasilitasnya super menyedihkan. pengalaman yang luar biasa bukan kepalang. oke itu hiperbola. semua yang disebutin di atas, jelas maksa gue buat berubah. gak bisa dong kalo gue harus mempertahankan sifat rabel, asal ngomong bahasa kasar sana sini, ngumbar jari tengah dimana-mana sedangkan gue aja sedang dalam masa-masa krusial pencarian teman atau bahkan keluarga baru di tempat asing yang mayoritas warga disini dari daerah dan agamis? gila kali lo. secara otomatis gue berubah lagi.
berubah untuk lebih ramah ke sesama pencari ilmu di sini
berubah untuk lebih menghormati dan menghargai perbedaan
berubah untuk lebih menerapkan rasa toleransi kepada orang
berubah untuk lebih bersyukur atas apa yang Tuhan berikan
ya walaupun masih dalam takaran yang sedikit, setidaknya gue belajar dan berubah.
ya kan, berubah lagi?
sampai sekarang gue bingung. istilahnya sih masih belum bisa ngegambar garis lurus. masih terombang-ambing. dan sekarang kembali mencari jati diri yang sebenarnya untuk kesekian kalinya. muak sih iya, tapi mau gimana lagi.
kadang-kadang gue ngerasa jadi keledai banget, di usia jalan 19 dan sampai detik ini pun gak bisa bikin essay tentang diri gue sendiri, atau jawab pertanyaan yang kadang suka gue ajuin ke diri sendiri.
kenapa lo masih suka influenced by someone?
kenapa lo jadi mirip sama dia?
kenapa tulisan lo suka berubah-ubah?
kenapa lo suka musik ini?
kenapa lo suka musik itu?
kenapa lo selalu ngebandingin diri lo sama mereka?
kenapa lo gak bisa nikmatin hidup dengan apa yang lo punya?
kenapa lo gak bisa produktif dalam hal apapun?
kenapa..?
kenapa..?
ya Tuhan so much why questions spinning in my head. and the most difficult question is 'sebebernya prinsip hidup lo itu apa?' sampai sekarang mereka ngeraung-raung minta untuk gue jawab. to be frank, those questions make me feel so dumb. ngerasa benci diri sendiri saat sadar banyak banget kekurangan yang gue punya. so much imperfections. sedih, marah, kecewa semuanya blended as one. sampai akhirnya gue nemuin sedikit klu kenapa bisa kejadian sampah macam ini...
because I forgot to love
my-
.
.
.
self
Sabtu, 01 Maret 2014
Tersesat?
sudah seberapa lama halaman ini ditinggalkan, eh?
Sabtu, 1 Maret 2014
apa yang selalu ditakutkan akhirnya datang juga?
apa yang dahulu tidak pernah terpikir akan terjadi akhirnya datang juga?
apa aku sudah mulai kehilangan jalur?
apa aku sudah mulai jatuh?
ataukah hanya kesepian semata yang menuntunku?
ataukah hanya ke egoisan semata yang membimbingku?
aku salah
iya, sayang, aku salah.
maafkan?
tidak?
oh baiklah...
apa sekarang waktunya kau berputar?
apa sekarang waktunya kau memberiku pelajaran?
apa aku sudah terlanjur nyaman?
sepertinya aku tersesat lagi
Sabtu, 1 Maret 2014
apa yang selalu ditakutkan akhirnya datang juga?
apa yang dahulu tidak pernah terpikir akan terjadi akhirnya datang juga?
apa aku sudah mulai kehilangan jalur?
apa aku sudah mulai jatuh?
ataukah hanya kesepian semata yang menuntunku?
ataukah hanya ke egoisan semata yang membimbingku?
aku salah
iya, sayang, aku salah.
maafkan?
tidak?
oh baiklah...
apa sekarang waktunya kau berputar?
apa sekarang waktunya kau memberiku pelajaran?
apa aku sudah terlanjur nyaman?
sepertinya aku tersesat lagi
Minggu, 03 Maret 2013
who you are, really?
who you are, really?
you are not a name
or a weight, or a height
or a gender
you are not an age
and you are not where
you are from
you are your favorite books
and the songs stuck in your head
you are your thoughts
and what you eat for breakfast
on saturday morning
you are a thousand things
but everyone chooses
to see the million things
you are not
you are not
where you are from
you are
where you're going
and I'd like
to go there too.
Kamis, 28 Februari 2013
Untuk Apa? Untuk Siapa?
Untuk apa berbicara seperti itu saat kau tak pahami betul tujuanmu berbicara?
Untuk siapa semua itu? Untuk sekedar menebus dosa kecil yang mengganjal atau memang datang dari dasar palung hati tersuci?
Untuk apa?
Untuk siapa?
Aku tak peduli lagi, semua hanya sekedar omong kosong.
Untuk siapa semua itu? Untuk sekedar menebus dosa kecil yang mengganjal atau memang datang dari dasar palung hati tersuci?
Untuk apa?
Untuk siapa?
Aku tak peduli lagi, semua hanya sekedar omong kosong.
Rabu, 27 Februari 2013
Mr. Faith
Ku penuhi seisi ruangan dengan lantunan kata terimakasih yang menggantung di udara. Tak akan ku biarkan mereka menguap. Tak akan ku biarkan mereka menggantung tanpa arti. Aku hanya ingin kau pahami bahwa sesungguhnya aku merasa sangat di berkati, dan sewajarnya kata tersebut ku lantunkan di sepanjang hidupku, kepadamu.
Terimakasih.
Terimakasih karena memberiku segudang pengalaman.
Terimakasih karena memberiku kesempatan untuk bercermin dan berkubang dari segala kenistaan yang pernah ku perbuat.
Terimakasih karena menguatkan dan mendewasakan pada saat yang bersamaan.
Terimakasih karena membuka jalan kebenaran, dan meluruskan yang telah lama membelok.
Terimakasih karena memberiku segudang pengalaman.
Terimakasih karena memberiku kesempatan untuk bercermin dan berkubang dari segala kenistaan yang pernah ku perbuat.
Terimakasih karena menguatkan dan mendewasakan pada saat yang bersamaan.
Terimakasih karena membuka jalan kebenaran, dan meluruskan yang telah lama membelok.
Terimakasih karena mengajarkan bahwa semua akan bisa karena terbiasa.
Terimakasih karena menyadarkan bahwa untuk terbiasa tak harus memaksakan.
Terimakasih karena mempersilahkan waktu menyembuhkan luka yang sekali lagi yang disembuhkan tanpa harus ada paksaan.
Aku belajar, bahwa sesungguhnya untuk beradaptasi di kala kabut hitam menerjang bukanlah dengan memaksakan, melainkan mengiklhaskan. Terimakasih, untuk engkau yang walaupun kita tak pernah bertatap muka sekalipun tetapi tetap setia untukku menuntun ke jalan yang lebih baik. Terimakasih untuk engkau yang tak berwujud tetapi nyata, terimakasih, Mr. Faith.
Selasa, 19 Februari 2013
Sudikah?
"...sandungan pun berubah menjadi tempaan yang bertubi-tubi, sadarkah?"
"Aku paham betul, sadar betul."
"Wajarkah bila disini terasa perih akibat terlena drama kecil ini?"
"Dalam porsi yang betul, aku dapat katakan itu wajar."
"Apabila ku rasa bodoh karena terjerat jalinan kata manis yang hanya akan menguap keesokannya, wajarkah?"
"Sudah ku bilang, wajar bila dalam porsi yang sesuai."
"Ku rasa ini porsi yang sesuai, aku hanya memastikan."
"Yakinkah? Apa aku dapat percaya bahwa itu bukalah sebuah bualan yang muncul ke permukaan?"
"Kau paham diriku, tak perlu lagi ku jawab basa-basimu."
"Kali ini biarkan pertanyaanku menanggapi rasa penasaranmu, sudikah menjawabnya?"
"Kupersilakan, dengan senang hati akan kuberikan jawaban manis yang jujur."
"Sadarkah seberapa banyak tempaan akhir-akhir ini yang kau terima?"
"Aku sibuk tertawa, tak sempat menghitungnya."
"Sadarkah beberapa kali kau terlalu dekat dengan api yang mereka buat?"
"Ya."
"Sadarkah kau dapat menguasai api itu?"
"Aku punya sejarah buruk dengan api, aku mudah terbakar."
"Tapi sadarkah kau telah menguasainya hanya dengan menghela nafas dan memejamkan mata?"
"..."
"Mungkin kau linglung, atau kehilangan ingatan. Tapi, pernahkah kau sempat teringat bagaimana dirimu dahulu saat berdekatan dengan api?"
"Tanpa hitungan detik, tanpa menunggu, pada saat itu juga aku terbakar."
"Tapi sekarang kau tidak seperti itu."
"Bualan indah keluar dari kerongkonganmu."
"Sudikah kau mau mendengarkan risetku tentang dirimu?"
"Lanjutkan, sobat."
"Kau mulai belajar dan memahami dirimu sendiri, sadar tak sadar tempaan yang kau dapatkan secara ajaib membuat dirimu dapat mengendalikan bagian dirimu yang mudah terbakar. Membuat bagian itu jauh tak terjamah api. Kau mulai dapat mengendalikan dirimu, walaupun kau berada sangat dekat dengan api."
"Apakah itu suatu kebenaran?"
"Sudah berapa banyak api-api yang mereka tebarkan disekelilingmu? Dan sudah berapa banyak kau terbakar karena api-api yang mereka sebar?"
"Aku tetap merasa terbakar saat mereka menebarkan api-api sialan itu."
"Kau mungkin terbakar, ya, hanya terbakar kecil. Selebihnya, kau dapat tetap terlihat dingin dihadapan para penebar api."
"Aku tidak akan menyerah dan membiarkan diriku terbakar jika itu membuat mereka si penebar api tersenyum. Aku tidak akan merendahkan diriku."
"Sudikah berterimakasih kepada tempaan-tempaan yang sudah kau terima selama ini? Mereka telah mengajarkanmu sesuatu hal penting, Heart!"
"Sampaikan salamku untuk mereka, terimakasih banyak untuk pelajaran berharganya. Terimakasih untukmu juga, Brain."
"Aku paham betul, sadar betul."
"Wajarkah bila disini terasa perih akibat terlena drama kecil ini?"
"Dalam porsi yang betul, aku dapat katakan itu wajar."
"Apabila ku rasa bodoh karena terjerat jalinan kata manis yang hanya akan menguap keesokannya, wajarkah?"
"Sudah ku bilang, wajar bila dalam porsi yang sesuai."
"Ku rasa ini porsi yang sesuai, aku hanya memastikan."
"Yakinkah? Apa aku dapat percaya bahwa itu bukalah sebuah bualan yang muncul ke permukaan?"
"Kau paham diriku, tak perlu lagi ku jawab basa-basimu."
"Kali ini biarkan pertanyaanku menanggapi rasa penasaranmu, sudikah menjawabnya?"
"Kupersilakan, dengan senang hati akan kuberikan jawaban manis yang jujur."
"Sadarkah seberapa banyak tempaan akhir-akhir ini yang kau terima?"
"Aku sibuk tertawa, tak sempat menghitungnya."
"Sadarkah beberapa kali kau terlalu dekat dengan api yang mereka buat?"
"Ya."
"Sadarkah kau dapat menguasai api itu?"
"Aku punya sejarah buruk dengan api, aku mudah terbakar."
"Tapi sadarkah kau telah menguasainya hanya dengan menghela nafas dan memejamkan mata?"
"..."
"Mungkin kau linglung, atau kehilangan ingatan. Tapi, pernahkah kau sempat teringat bagaimana dirimu dahulu saat berdekatan dengan api?"
"Tanpa hitungan detik, tanpa menunggu, pada saat itu juga aku terbakar."
"Tapi sekarang kau tidak seperti itu."
"Bualan indah keluar dari kerongkonganmu."
"Sudikah kau mau mendengarkan risetku tentang dirimu?"
"Lanjutkan, sobat."
"Kau mulai belajar dan memahami dirimu sendiri, sadar tak sadar tempaan yang kau dapatkan secara ajaib membuat dirimu dapat mengendalikan bagian dirimu yang mudah terbakar. Membuat bagian itu jauh tak terjamah api. Kau mulai dapat mengendalikan dirimu, walaupun kau berada sangat dekat dengan api."
"Apakah itu suatu kebenaran?"
"Sudah berapa banyak api-api yang mereka tebarkan disekelilingmu? Dan sudah berapa banyak kau terbakar karena api-api yang mereka sebar?"
"Aku tetap merasa terbakar saat mereka menebarkan api-api sialan itu."
"Kau mungkin terbakar, ya, hanya terbakar kecil. Selebihnya, kau dapat tetap terlihat dingin dihadapan para penebar api."
"Aku tidak akan menyerah dan membiarkan diriku terbakar jika itu membuat mereka si penebar api tersenyum. Aku tidak akan merendahkan diriku."
"Sudikah berterimakasih kepada tempaan-tempaan yang sudah kau terima selama ini? Mereka telah mengajarkanmu sesuatu hal penting, Heart!"
"Sampaikan salamku untuk mereka, terimakasih banyak untuk pelajaran berharganya. Terimakasih untukmu juga, Brain."
Langganan:
Postingan (Atom)