Selasa, 15 Juli 2014

Chanson Triste

Chanson Triste

Chanson juste pour toi
Song just for you
Chanson un peu triste je crois
Song, a little sad, I think

            Matahari sore menggantung anggun menunggu berakhir tugasnya untuk hari ini. Sinarnya berpendar menyirami pagar kayu coklat rapuh, memberikan kesan hangat yang sebentar lagi akan di renggut oleh datangnya dewi malam bersama pasukan bintang-bintang. Desiran ombak yang konstan terdengar merdu ditelinga, sumbangan alunan lagu yang indah dari alam, menemani dengan setia gadis muda yang sedang hanyut dalam penggalan kenangan masa lalu yang singkat namun indah. Angin pantai menyapu lembut wajahnya, menerbangkan rambut-rambut ikalnya yang tergerai pasrah. Matanya memandang lurus pada hamparan selimut biru dengan taburan sinar oranye matahari, menerawang lurus sejauh yang bisa dibayangkan. Sayangnya mata itu tidak menandakan bahwa sang pemilik berada dalam raganya. Tatapan kosong, sedang tersesat dalam lamunan. Waktu seakan berhenti dan membebaskannya untuk berpikir, merenung, dan menyesal.

            Dalam diam, wajah itu menyelinap dan muncul di pikirannya. Meminta waktunya sekali lagi dan untuk kesekian kali tenggelam dalam biru yang telah lama terkubur. Wajah itu tanpa basa-basi membawa berbagai macam kilasan singkat film pendek manis yang pernah terjadi pada hidupnya. Wajah itu tanpa rasa bersalah dan tanpa di ketahui oleh sang pemiliknya telah membuat Sara Brianna tersenyum pahit saat mengenangnya. Menggali lagi luka lama, yang juga cerita indah.

Trois temps de mots froissées,
Three times of crumpled words
Quelques notes et tous mes regrets,   
Some notes and all my regrets

            Sara menutup matanya, menikmati aroma pasir putih dan air laut yang menjadi satu. Tempat yang menyenangkan untuk sendiri –lebih tepatnya menyendiri. Tempat yang nyaman untuk melayang jauh dan berpetualang dalam mesin waktu alam pikiran.  


19 September 2005

Dunia Sara Brianna hancur seketika. Air matanya mendesak keluar tanpa dapat ia cegah. Sara menundukkan wajahnya, membiarkan air asin itu turun dengan lembut menyapu basah pipinya yang tirus.

“Maaf Sara. Ini yang terbaik.” Kata laki-laki di hadapan Sara. Suaranya lembut, suara yang selalu disukai Sara. Yang selalu dapat menenangkannya dan membuat tidurnya nyaman. Tetapi kali ini suara itu seperti alunan lagu sedih di sore berkabut. Menyayat hatinya dengan begitu pelan namun penuh kepastian.

Tidak ada yang dapat di keluarkan oleh kerongkongan kering Sara. Banyak pertanyaan yang mendesak ingin tumpah keluar, tetapi dia tidak dapat berkata apapun. Bibirnya kelu, kerongkongannya kering, matanya terlalu panas dan dirinya diliputi kesedihan yang terlalu dalam. Bagaimana bisa Sara memberikan pembelaan bagi dirinya, bahkan untuk bertanya alasan semua ini terjadi saja dia tidak mampu?

Sebisa mungkin Sara menahan isakannya, “Bukan seperti itu, Sara. Aku hanya takut tidak bisa membuatmu bahagia. Aku rasa ini titik terjenuh kita, sesuatu yang dipaksakan tidak akan berakhir baik. Aku harap kau mengerti itu.” Lelaki di hadapannya tersenyum, Sara tahu betul senyum yang disunggingkan bukanlah senyum kebahagiaan. Yang Sara tau senyuman itu menyimpulkan sedikit kesedihan, keraguan, namun rasa lega akan kebebasan yang baru saja pemiliknya dapatkan.

Awan hitam menyelubungi hati Sara. Dia bergetar hebat. “Ba-baiklah Ben, kalau begitu.” Sara berdiri dari tempat duduknya, menyeka air mata yang menggantung di matanya dan sedikit sisa di pipinya. Dia bangkit dari duduknya dan melangkah keluar ruangan hangat itu dengan goyah, meninggalkan lelaki itu sendiri berhadapan dengan dua cangkir kopi yang sudah dingin.


9 Oktober 2005

            Bagian tersedih yang dapat Sara rasakan adalah mendapati dirinya terbangun pada pukul 2 pagi, dan hal pertama yang ada di kepalanya adalah lelaki itu. Gelombang kesedihan tanpa peringatan datang menghampirinya, sekali lagi menyelimutinya dengan kepahitan sudah begitu akrab dengannya. Dia kehilangan kemampuan untuk menangis, bukan karena persediaan air matanya habis, lebih kepada hatinya sudah terlalu hambar dan terbiasa dengan seperangkat kesedihan yang dibawa ingatan akan hari ‘itu’, tentang lelaki itu. Matanya lurus menatap atap bercat putih, seakan ia dapat melihat apa yang ada dibaliknya.

            Sara sudah tidak peduli lagi akan kondisi hatinya –seberapa hancur hatinya. Hal yang tidak bisa Sara kendalikan adalah keinginan untuk melihat wajah lelaki itu dan mendengar suara lembutnya untuk sekali lagi. Ini lebih dari cukup untuk membuatnya menjadi gila dan hilang kendali. Untuk sepersekian detik, Sara mencium aroma yang telah sangat dikenalnya –aroma woody aromatic yang biasa dikenakan oleh Ben.

‘Apa aku benar-benar merindukannya?’

            Ruangan yang gelap itu hanya di terangi oleh cahaya bulan yang berpendar sayu dan gemerlap lampu kota yang masuk dari jendela apartemennya. Membiarkan Sara menikmati setiap detiknya yang terbuang sia-sia, hingga akhirnya kelopak matanya mulai berat dan menutupi mata coklatnya yang muram. Sara tertidur, saat fajar mulai menyapa dibalik sela-sela kumpulan prajurit awan malam.


16 Oktober 2005

            Kelopaknya yang dahulu berwarna merah, putih, dan peach kini mengering dimakan usia. Kecoklatan dan menyimpan setiap cerita Sara Brianna dengan Ben. Mawar-mawar itu saksi bisu dari setiap potongan kisah manis namun terlalu pahit hanya untuk sekedar diingat olehnya. Mawar-mawar yang sudah nyaris dua tahun disimpannya. Mawar-mawar yang malang, karena mereka harus berakhir di tempat sampah bersama dengan tumpukan kertas-kertas kenangan, jersey salah satu tim sepak bila kesayangannya, jam pasir berbentuk hati berhiaskan bunga mawar, dan setumpuk lagi foto box mereka berdua. Barang-barang yang sesungguhnya enggan Sara buang, tetapi terlalu menyakitkan untuk disimpan dan dilihatnya.

Good bye, memories.

Satu langkah pasti yang dibuat oleh Sara, melenyapkan jejak tentang Ben. Satu langkah pasti yang diambilnya untuk sedikit mengusir Ben dalam kepalanya, bahkan kalau bisa hatinya. Satu langkah pasti yang ternyata berhasil.

Kali ini, Ben, dengarkan aku. Aku sedang berusaha melupakanmu.


13 Oktober 2005

            Cermin tidak pernah berbohong. Cermin akan selalu merefleksikan objek yang tepat berdiri hadapannya. Tetapi, cermin hanya dapat merefleksikan betapa lusuhnya Sara Brianna, tanpa paham betapa hancur hidup Sara pasca ditinggalkan oleh Ben dan betapa sulitnya mengumpulkan puing-puing kehidupan, lalu berusaha membangun dunianya kembali.

            Sara merapikan rambutnya yang mengembang, berusaha menjinakkan anak rambut yang susah sekali di atur dengan serum rambut. Kemudian dengan enggan menyapukan bedak tipis ke pipi tirusnya. Mengenakan sedikit lip balm untuk menutupi bibirnya yang pecah-pecah. Dengan sembarang Sara mengambil parfum yang ada di meja riasnya, satu dua seprot, selesai. Sara siap pergi.

            Sore hari yang mendung, awan-awan gelap menggantung rendah membiarkan orang-orang yang berlalu lalang paham bahwa hujan sebentar lagi akan membasahi baju-baju mereka. Wajar saja karena sekarang ini bulan Oktober dan sudah saatnya musim hujan datang. Tidak masalah jika hujan turun kapanpun, toh Sara sudah membawa payung, di samping itu dia sangat menyukai hujan. Benar saja, baru beberapa langkah Sara meninggalkan apartemennya, hujan turun tanpa peringatan. Membuat satu dua orang yang tidak siaga membawa payung harus rela berteduh di pinggir toko atau sekedar berteduh di café terdekat.

            Payung warna-warni mulai terbuka satu persatu. Sara juga harus membuka payungnya jika tidak mau basah sebelum sampai di tempat tujuan. Setengah berlari berusaha menerjang hujan dan padatnya orang-orang yang baru saja pulang kerja. BAM! Dia tidak sengaja menubruk sepasang anak remaja labil yang sedang asik berciuman di pinggir jalan. Dengan menyedihkannya dia harus menerima pelototan korban yang ditabraknya.‘Maaf, maaf saya sedang terburu-buru. Tolong lanjutkan kegiatan kalian.’ Pipinya memerah karena menahan malu, di percepat langkahnya namun lebih hati-hati, takut-takut menabrak orang untuk ke dua kalinya.

            Café yang menyenangkan. Dengan interior yang didominasi oleh warna coklat dan perabotan yang terbuat oleh kayu jati. Lampu berpendar ramah di atas setiap meja-meja memberikan cahaya yang cukup bagi para pelanggan. Lantai, jendela, pintu, dan sebagian dinding terbuat dari kayu jati. Memberikan kesan hangat dan ramah. Itulah salah satu alasan mengapa Sara sangat menyukai tempat ini. Dia selalu datang pada hari hujan jika sedang terbebas dari padatnya jadwal kuliah ataupun jika biru sedang menghampiri. Tempat favoritnya untuk menghabiskan waktu, merenung hingga berjam-jam lamanya.

            ‘Sara! Di sebelah sini!’ seorang lelaki kurus dengan senyum mengembang melambaikan tangannya dari pojok café. Dengan segera Sara menghampiri lelaki yang sedari tadi melambaikan tangan ke arahnya. ‘Aaron Farouk! Apa kabar? Long time no see!’ Sara nyaris kehilangan nafas karena terlalu bersemangat menghampiri temannya yang berada di salah satu pojok terdalam café. ‘Maaf telat, pasti sudah menunggu lama ‘kan?’

            Aaron Farouk mendecikkan lidahnya sembari menaikan pundaknya, ‘Aku nyaris berjamur di sini jika kau ingin tau, Sar.’ berusaha untuk terlihat marah namun gagal di mata Sara. ‘Oh ayolah, maafkan aku. Aku yang akan traktir, bagaimana?’ mau tidak mau Sara ikutan dalam drama kecil yang dibuat oleh temannya ini. ‘Dimaafkan. Tapi kau yang traktir makan. Baiklah kalu begitu kita mulai dari mana ya..’ Aaron yang sejak tadi duduk mulai membolak-balikkan buku menu yang ada di atas meja makanan. Sara hanya tersenyum geli melihat temannya yang bertingkah seperti anak kecil. ‘Mau sampai kapan kau berdiri hanya memandangiku dan tertawa cekikikan seperti itu? Duduklah Sara! Jangan membuatku terlihat seperti orang jahat.’ Aaron memberikan perintah kepada sara tanpa sedetikpun mengalihkan pandangannya dari buku menu. Sara yang menerima perintah kemudian duduk, mengambil bangku yang bersebrangan dengan meja dengan Aaron.

            Setelah keduanya puas membolak-balik buku menu, Aaron kemudian memanggil salah satu pelayan di café tersebut. ‘Oke, karena Sara yang akan membayar bill-nya aku pesan minuman dan makanan yang paling mahal di sini ya!’ tanpa menghiraukan pelototan Sara yang kaget, ‘Oh iya, kau mau makan apa Sara?’ Aaron Farouk tersenyum puas melihat ekspresi kesal yang dilimpahkan Sara kepadanya. Sara hanya dapat memutar bola mata melihat tingkah temannya ini.

            Setelah makanan datang, keduanya pun makan dengan lahap. Tanpa bicara. Sepertinya mereka lapar, ditambah cuaca sore ini yang dingin dan membuat perut mudah lapar. Dalam waktu yang tidak begitu lama, semua pesanan habis tidak bersisa. Aaron kembali memanggil seorang pelayang dan memesan satu cangkir coklat panas untuk Sara dan satu cangkir Espresso untuk dirinya sendiri.

            ‘Sara, bagaimana kabarmu?’ sambil menyeruput Espresso hangat yang dipesannya. Kemudian diletakkannya cangkir setengah penuh itu di atas meja ‘Apa semua baik-baik saja? Aku harap sih begitu jika melihat dirimu yang seperti ini.’

            Air muka sara berubah dengan cepat. Sara paham arah pembicaraan mereka. Sara. Sangat. Paham. Aaron Farouk merupakan teman baiknya sejak lama, sayangnya dia juga teman Ben. Bisa dibilang mereka ini saudara beda ibu. Jelas Aaron tau semua cerita tentang Sara dan Ben, terlebih Sara yakin Ben menceritakan semuanya –secara detail, yang terjadi di antara Sara dan Ben. Pembicaraan ini tidak sehat, sejak awal pun Sara sudah dapat menebak alasan mengapa Aaron tiba-tiba mengajaknya bertemu. ‘Aku baik. Sangat baik. Seperti yang kau lihat.’ Jawab Sara singkat. Berusaha meyakinkan Aaron. Berusaha agar suaranya tidak bergetar.

            ‘Maksudku--’ belum selesai Aaron menyelesaikan pertanyaannya, Sara sudah menjawabnya. ‘Apa menurutmu aku akan baik-baik saja setelah ditinggalkannya, Aaron?Aku hancur. Jika itu jawaban yang kau inginkan-’ Seakan hujan di luar sana menjadi dua kali lebih deras dan petir terdengar dua kali lebih menyeramkan. ‘tapi tenang saja, aku sedang dalam perjalanan untuk memperbaiki diriku.’ Sara sedikit gemetar karena menahan tangisnya, dia mengambil cangkir yang masih penuh berisi coklat panas kemudian menyeruput sedikit isinya.

            ‘Sara, maaf. Aku hanya khawatir padamu.’ Aaron menatap Sara. Lurus kedalam matanya. Mencoba melihat isi hati Sara. Dan benar, tanpa perlu usaha keras, tanpa perlu menatap matanya dalam-dalam siapapun akan mengetahui bahwa Sara Brianna sedang terluka, atau masih terluka. Seakan terbaca oleh temannya, Sara menundukkan wajah memandangi isi cangkirnya seakan mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang selama ini menghantuinya.

            ‘Aaron, apa dia baik-baik saja? Bagaimana kabarnya?’ tanya Sara tanpa memandang lawan bicarannya, masih sibuk mengamati coklat panas yang perlahan mulai mendingin. ‘Apa dia bahagia sekarang?’ dibiarkan pertanyaannya menggantung di udara, tanpa memaksa Aaron untuk menjawabnya. Karena sesungguhnya dia tidak ingin mendengar jawaban Aaron. ‘Apa dia benar-benar bahagia sekarang?’ suaranya begitu lirih  nyaris tidak terdengar.

            Tanpa berbicara Aaron berdiri dari kursi yang didudukinya sejak tadi, berpindah duduk dibangku panjang tepat di samping Sara. ‘Ben juga memikirkanmu Sara, tetapi dia  baik-baik saja. Jika itu yang ingin kau dengar.’ Hening sejenak. Aaron melingkarkan tangan panjangnya kesekeliling tubuh Sara yang kurus. ‘Sara, keluarkan saja. Menangislah. Kau sudah menahannya terlalu lama.’ Dengan izin yang Aaron berikan, Sara menangis. Meluapkan segala yang selama ini dia pendam sendiri. Menumpahkan air mata yang tertahan oleh sesak. Membiarkan Aaron melingkarkan tangan panjangnya untuk membuat Sara nyaman alih-alih menenangkannya. Sara menangis, dalam diam.

            ‘Setelah ini berjanjilah jangan menangisi Ben. Coba lihat lagi sekelilingmu, masih banyak orang-orang yang menyayangimu, Sar. Ada keluargamu, sahabat-sahabatmu, teman-temanmu, ada aku juga! Apa itu semua kurang? Dia tidak cukup berharga untuk air matamu.’ Aaron menghela napas panjang. ‘Ah dasar, anak brengsek itu..’ Aaron mengambil beberapa helai tisu dan memberikannya ke Sara. Membiarkan Sara mengeringkan pipinya yang sedari tadi dihujani air mata, menepuk punggung Sara pelan dan tersenyum melihat temannya. ‘Sudah lega sekarang?’ Sara hanya mengangguk kecil. ‘Jadi tetap kau yang membayar bill ini semua kan Sar- AH SARA BRIANNA HENTIKAN CUBITANMU SAKIT SEKALI HENTIKAN IYA AKU YANG BAYAR!!’

Terimakasih Aaron Farouk.



TBC

Note: Tulisan lama yang tidak sengaja ditemukan kembali. To be continue, akan segeraa digarap kelanjutannya. Semoga cerita ini dapat selesai.

Rabu, 09 Juli 2014

Good Night

Kamis, 10 Juli 2014
00:40 p.m

datar itu kini terkikis habis
bagai keju terparut oleh pemarutnya
bagai tenggakan segelas sirup merah di siang panas
bagai coklat pahit di atas wajan, meleleh

kini lambat laun manis menyapaku
mempersilakanku menyicipi bunga-bunga kembang api di gelap langit tahun baru
meluncur...
meledak...
memuntahkan palet warna kejutan
aku terkejut
aku terkejut dalam genangan kebahagiaan

you're the apple to my pie
you're the straw to my berry

kau kenalkanku pada bahagia, lagi
kenalkanku pada rindu, lagi
kenalkanku pada rasa memiliki, lagi
setelah lama dalam datar
lupa dalam kesendirian
tersesat dalam kenangan

ingatkanku pada jantung yang berdegup
kembali ingatkan rasa manisnya cemburu
seakan tuangkan soda dalam gelas minumku
meletup
segar
seperti baru

satu, dua, tiga..
hitung saja terus
karena terima kasih ini bak bintang di atas kepala
satu, dua, tiga..
sebanyak itulah yang akan ku sampaikan

barisan kata tak cukup untuk tumpahkan rasa
doa kupanjat demi kebaikan dua
harap biru tak lagi menjelma
tak lagi datang padaku
dan padamu
maksudku, pada kita berdua

good night.

PS: semoga yang dituju tak pernah melihat. bagian yang dicetak miring dikutip dari lagu Perfect Two by Auburn.