Chanson Triste
Chanson juste pour toi
Song just for you
Chanson un peu triste je
crois
Song, a little sad, I
think
Matahari sore menggantung anggun menunggu berakhir tugasnya untuk hari ini.
Sinarnya berpendar menyirami pagar kayu coklat rapuh, memberikan kesan hangat
yang sebentar lagi akan di renggut oleh datangnya dewi malam bersama pasukan
bintang-bintang. Desiran ombak yang konstan terdengar merdu ditelinga,
sumbangan alunan lagu yang indah dari alam, menemani dengan setia gadis muda
yang sedang hanyut dalam penggalan kenangan masa lalu yang singkat namun indah.
Angin pantai menyapu lembut wajahnya, menerbangkan rambut-rambut ikalnya yang
tergerai pasrah. Matanya memandang lurus pada hamparan selimut biru dengan
taburan sinar oranye matahari, menerawang lurus sejauh yang bisa dibayangkan.
Sayangnya mata itu tidak menandakan bahwa sang pemilik berada dalam raganya.
Tatapan kosong, sedang tersesat dalam lamunan. Waktu seakan berhenti dan
membebaskannya untuk berpikir, merenung, dan menyesal.
Dalam diam, wajah itu menyelinap dan muncul di pikirannya. Meminta waktunya
sekali lagi dan untuk kesekian kali tenggelam dalam biru yang telah lama
terkubur. Wajah itu tanpa basa-basi membawa berbagai macam kilasan singkat film
pendek manis yang pernah terjadi pada hidupnya. Wajah itu tanpa rasa bersalah
dan tanpa di ketahui oleh sang pemiliknya telah membuat Sara Brianna tersenyum
pahit saat mengenangnya. Menggali lagi luka lama, yang juga cerita indah.
Trois temps de mots froissées,
Three times of crumpled words
Quelques notes et tous mes regrets,
Some notes and all my
regrets
Sara menutup matanya, menikmati aroma pasir putih dan air laut yang menjadi
satu. Tempat yang menyenangkan untuk sendiri –lebih tepatnya menyendiri. Tempat
yang nyaman untuk melayang jauh dan berpetualang dalam mesin waktu alam
pikiran.
19 September 2005
Dunia Sara Brianna hancur seketika. Air matanya mendesak keluar tanpa
dapat ia cegah. Sara menundukkan wajahnya, membiarkan air asin itu turun dengan
lembut menyapu basah pipinya yang tirus.
“Maaf Sara. Ini yang terbaik.” Kata laki-laki di hadapan Sara. Suaranya
lembut, suara yang selalu disukai Sara. Yang selalu dapat menenangkannya dan
membuat tidurnya nyaman. Tetapi kali ini suara itu seperti alunan lagu sedih di
sore berkabut. Menyayat hatinya dengan begitu pelan namun penuh kepastian.
Tidak ada yang dapat di keluarkan oleh kerongkongan kering Sara. Banyak
pertanyaan yang mendesak ingin tumpah keluar, tetapi dia tidak dapat berkata
apapun. Bibirnya kelu, kerongkongannya kering, matanya terlalu panas dan
dirinya diliputi kesedihan yang terlalu dalam. Bagaimana bisa Sara memberikan
pembelaan bagi dirinya, bahkan untuk bertanya alasan semua ini terjadi saja dia
tidak mampu?
Sebisa mungkin Sara menahan isakannya, “Bukan seperti itu, Sara. Aku
hanya takut tidak bisa membuatmu bahagia. Aku rasa ini titik terjenuh kita,
sesuatu yang dipaksakan tidak akan berakhir baik. Aku harap kau mengerti itu.”
Lelaki di hadapannya tersenyum, Sara tahu betul senyum yang disunggingkan
bukanlah senyum kebahagiaan. Yang Sara tau senyuman itu menyimpulkan sedikit
kesedihan, keraguan, namun rasa lega akan kebebasan yang baru saja pemiliknya
dapatkan.
Awan hitam menyelubungi hati Sara. Dia bergetar hebat. “Ba-baiklah Ben,
kalau begitu.” Sara berdiri dari tempat duduknya, menyeka air mata yang
menggantung di matanya dan sedikit sisa di pipinya. Dia bangkit dari duduknya
dan melangkah keluar ruangan hangat itu dengan goyah, meninggalkan lelaki itu
sendiri berhadapan dengan dua cangkir kopi yang sudah dingin.
9 Oktober 2005
Bagian tersedih yang dapat Sara
rasakan adalah mendapati dirinya terbangun pada pukul 2 pagi, dan hal pertama
yang ada di kepalanya adalah lelaki itu. Gelombang kesedihan tanpa peringatan
datang menghampirinya, sekali lagi menyelimutinya dengan kepahitan sudah begitu
akrab dengannya. Dia kehilangan kemampuan untuk menangis, bukan karena
persediaan air matanya habis, lebih kepada hatinya sudah terlalu hambar dan
terbiasa dengan seperangkat kesedihan yang dibawa ingatan akan hari ‘itu’,
tentang lelaki itu. Matanya lurus menatap atap bercat putih, seakan ia dapat
melihat apa yang ada dibaliknya.
Sara sudah tidak peduli lagi akan kondisi hatinya –seberapa hancur hatinya. Hal
yang tidak bisa Sara kendalikan adalah keinginan untuk melihat wajah lelaki itu
dan mendengar suara lembutnya untuk sekali lagi. Ini lebih dari cukup untuk
membuatnya menjadi gila dan hilang kendali. Untuk sepersekian detik, Sara
mencium aroma yang telah sangat dikenalnya –aroma woody aromatic yang biasa dikenakan
oleh Ben.
‘Apa aku benar-benar
merindukannya?’
Ruangan yang gelap itu hanya di terangi oleh cahaya bulan yang berpendar sayu
dan gemerlap lampu kota yang masuk dari jendela apartemennya. Membiarkan Sara
menikmati setiap detiknya yang terbuang sia-sia, hingga akhirnya kelopak
matanya mulai berat dan menutupi mata coklatnya yang muram. Sara tertidur, saat
fajar mulai menyapa dibalik sela-sela kumpulan prajurit awan malam.
16 Oktober 2005
Kelopaknya yang dahulu berwarna
merah, putih, dan peach kini mengering dimakan usia. Kecoklatan dan menyimpan
setiap cerita Sara Brianna dengan Ben. Mawar-mawar itu saksi bisu dari setiap
potongan kisah manis namun terlalu pahit hanya untuk sekedar diingat olehnya.
Mawar-mawar yang sudah nyaris dua tahun disimpannya. Mawar-mawar yang malang,
karena mereka harus berakhir di tempat sampah bersama dengan tumpukan
kertas-kertas kenangan, jersey salah satu tim sepak bila kesayangannya, jam
pasir berbentuk hati berhiaskan bunga mawar, dan setumpuk lagi foto box mereka
berdua. Barang-barang yang sesungguhnya enggan Sara buang, tetapi terlalu
menyakitkan untuk disimpan dan dilihatnya.
Good bye, memories.
Satu langkah pasti yang
dibuat oleh Sara, melenyapkan jejak tentang Ben. Satu langkah pasti yang
diambilnya untuk sedikit mengusir Ben dalam kepalanya, bahkan kalau bisa
hatinya. Satu langkah pasti yang ternyata berhasil.
Kali ini, Ben, dengarkan
aku. Aku sedang berusaha melupakanmu.
13 Oktober 2005
Cermin tidak pernah berbohong. Cermin akan selalu merefleksikan objek yang
tepat berdiri hadapannya. Tetapi, cermin hanya dapat merefleksikan betapa
lusuhnya Sara Brianna, tanpa paham betapa hancur hidup Sara pasca ditinggalkan
oleh Ben dan betapa sulitnya mengumpulkan puing-puing kehidupan, lalu berusaha
membangun dunianya kembali.
Sara merapikan rambutnya yang mengembang, berusaha menjinakkan anak rambut yang
susah sekali di atur dengan serum rambut. Kemudian dengan enggan menyapukan
bedak tipis ke pipi tirusnya. Mengenakan sedikit lip balm untuk menutupi
bibirnya yang pecah-pecah. Dengan sembarang Sara mengambil parfum yang ada di
meja riasnya, satu dua seprot, selesai. Sara siap pergi.
Sore hari yang mendung, awan-awan gelap menggantung rendah membiarkan
orang-orang yang berlalu lalang paham bahwa hujan sebentar lagi akan membasahi
baju-baju mereka. Wajar saja karena sekarang ini bulan Oktober dan sudah
saatnya musim hujan datang. Tidak masalah jika hujan turun kapanpun, toh Sara
sudah membawa payung, di samping itu dia sangat menyukai hujan. Benar saja,
baru beberapa langkah Sara meninggalkan apartemennya, hujan turun tanpa
peringatan. Membuat satu dua orang yang tidak siaga membawa payung harus rela
berteduh di pinggir toko atau sekedar berteduh di café terdekat.
Payung warna-warni mulai terbuka satu persatu. Sara juga harus membuka
payungnya jika tidak mau basah sebelum sampai di tempat tujuan. Setengah
berlari berusaha menerjang hujan dan padatnya orang-orang yang baru saja pulang
kerja. BAM! Dia tidak sengaja menubruk sepasang anak remaja labil yang sedang
asik berciuman di pinggir jalan. Dengan menyedihkannya dia harus menerima
pelototan korban yang ditabraknya.‘Maaf, maaf saya sedang terburu-buru. Tolong
lanjutkan kegiatan kalian.’ Pipinya memerah karena menahan malu, di percepat
langkahnya namun lebih hati-hati, takut-takut menabrak orang untuk ke dua
kalinya.
Café yang menyenangkan. Dengan interior yang didominasi oleh warna coklat dan
perabotan yang terbuat oleh kayu jati. Lampu berpendar ramah di atas setiap
meja-meja memberikan cahaya yang cukup bagi para pelanggan. Lantai, jendela,
pintu, dan sebagian dinding terbuat dari kayu jati. Memberikan kesan hangat dan
ramah. Itulah salah satu alasan mengapa Sara sangat menyukai tempat ini. Dia
selalu datang pada hari hujan jika sedang terbebas dari padatnya jadwal kuliah
ataupun jika biru sedang menghampiri. Tempat favoritnya untuk menghabiskan
waktu, merenung hingga berjam-jam lamanya.
‘Sara! Di sebelah sini!’ seorang lelaki kurus dengan senyum mengembang
melambaikan tangannya dari pojok café. Dengan segera Sara menghampiri lelaki
yang sedari tadi melambaikan tangan ke arahnya. ‘Aaron Farouk! Apa kabar? Long
time no see!’ Sara nyaris kehilangan nafas karena terlalu bersemangat
menghampiri temannya yang berada di salah satu pojok terdalam café. ‘Maaf
telat, pasti sudah menunggu lama ‘kan?’
Aaron Farouk mendecikkan lidahnya sembari menaikan pundaknya, ‘Aku nyaris berjamur
di sini jika kau ingin tau, Sar.’ berusaha untuk terlihat marah namun gagal di
mata Sara. ‘Oh ayolah, maafkan aku. Aku yang akan traktir, bagaimana?’ mau
tidak mau Sara ikutan dalam drama kecil yang dibuat oleh temannya ini.
‘Dimaafkan. Tapi kau yang traktir makan. Baiklah kalu begitu kita mulai dari
mana ya..’ Aaron yang sejak tadi duduk mulai membolak-balikkan buku menu yang
ada di atas meja makanan. Sara hanya tersenyum geli melihat temannya yang
bertingkah seperti anak kecil. ‘Mau sampai kapan kau berdiri hanya memandangiku
dan tertawa cekikikan seperti itu? Duduklah Sara! Jangan membuatku terlihat
seperti orang jahat.’ Aaron memberikan perintah kepada sara tanpa sedetikpun
mengalihkan pandangannya dari buku menu. Sara yang menerima perintah kemudian
duduk, mengambil bangku yang bersebrangan dengan meja dengan Aaron.
Setelah keduanya puas membolak-balik buku menu, Aaron kemudian memanggil salah
satu pelayan di café tersebut. ‘Oke, karena Sara yang akan membayar bill-nya
aku pesan minuman dan makanan yang paling mahal di sini ya!’ tanpa menghiraukan
pelototan Sara yang kaget, ‘Oh iya, kau mau makan apa Sara?’ Aaron Farouk
tersenyum puas melihat ekspresi kesal yang dilimpahkan Sara kepadanya. Sara
hanya dapat memutar bola mata melihat tingkah temannya ini.
Setelah makanan datang, keduanya pun makan dengan lahap. Tanpa bicara.
Sepertinya mereka lapar, ditambah cuaca sore ini yang dingin dan membuat perut
mudah lapar. Dalam waktu yang tidak begitu lama, semua pesanan habis tidak
bersisa. Aaron kembali memanggil seorang pelayang dan memesan satu cangkir
coklat panas untuk Sara dan satu cangkir Espresso untuk dirinya sendiri.
‘Sara, bagaimana kabarmu?’ sambil menyeruput Espresso hangat yang dipesannya.
Kemudian diletakkannya cangkir setengah penuh itu di atas meja ‘Apa semua
baik-baik saja? Aku harap sih begitu jika melihat dirimu yang seperti ini.’
Air muka sara berubah dengan cepat. Sara paham arah pembicaraan mereka. Sara.
Sangat. Paham. Aaron Farouk merupakan teman baiknya sejak lama, sayangnya dia
juga teman Ben. Bisa dibilang mereka ini saudara beda ibu. Jelas Aaron tau
semua cerita tentang Sara dan Ben, terlebih Sara yakin Ben menceritakan
semuanya –secara detail, yang terjadi di antara Sara dan Ben. Pembicaraan ini
tidak sehat, sejak awal pun Sara sudah dapat menebak alasan mengapa Aaron
tiba-tiba mengajaknya bertemu. ‘Aku baik. Sangat baik. Seperti yang kau lihat.’
Jawab Sara singkat. Berusaha meyakinkan Aaron. Berusaha agar suaranya tidak
bergetar.
‘Maksudku--’ belum selesai Aaron menyelesaikan pertanyaannya, Sara sudah
menjawabnya. ‘Apa menurutmu aku akan baik-baik saja setelah ditinggalkannya,
Aaron?Aku hancur. Jika itu jawaban yang kau inginkan-’ Seakan hujan di luar
sana menjadi dua kali lebih deras dan petir terdengar dua kali lebih
menyeramkan. ‘tapi tenang saja, aku sedang dalam perjalanan untuk memperbaiki
diriku.’ Sara sedikit gemetar karena menahan tangisnya, dia mengambil cangkir
yang masih penuh berisi coklat panas kemudian menyeruput sedikit isinya.
‘Sara, maaf. Aku hanya khawatir padamu.’ Aaron menatap Sara. Lurus kedalam
matanya. Mencoba melihat isi hati Sara. Dan benar, tanpa perlu usaha keras,
tanpa perlu menatap matanya dalam-dalam siapapun akan mengetahui bahwa Sara
Brianna sedang terluka, atau masih terluka. Seakan terbaca oleh temannya, Sara
menundukkan wajah memandangi isi cangkirnya seakan mencari jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan yang selama ini menghantuinya.
‘Aaron, apa dia baik-baik saja? Bagaimana kabarnya?’ tanya Sara tanpa memandang
lawan bicarannya, masih sibuk mengamati coklat panas yang perlahan mulai
mendingin. ‘Apa dia bahagia sekarang?’ dibiarkan pertanyaannya menggantung di
udara, tanpa memaksa Aaron untuk menjawabnya. Karena sesungguhnya dia tidak
ingin mendengar jawaban Aaron. ‘Apa dia benar-benar bahagia sekarang?’ suaranya
begitu lirih nyaris tidak terdengar.
Tanpa berbicara Aaron berdiri dari kursi yang didudukinya sejak tadi, berpindah
duduk dibangku panjang tepat di samping Sara. ‘Ben juga memikirkanmu Sara,
tetapi dia baik-baik saja. Jika itu yang ingin kau dengar.’ Hening
sejenak. Aaron melingkarkan tangan panjangnya kesekeliling tubuh Sara yang
kurus. ‘Sara, keluarkan saja. Menangislah. Kau sudah menahannya terlalu lama.’
Dengan izin yang Aaron berikan, Sara menangis. Meluapkan segala yang selama ini
dia pendam sendiri. Menumpahkan air mata yang tertahan oleh sesak. Membiarkan
Aaron melingkarkan tangan panjangnya untuk membuat Sara nyaman alih-alih menenangkannya.
Sara menangis, dalam diam.
‘Setelah ini berjanjilah jangan menangisi Ben. Coba lihat lagi sekelilingmu,
masih banyak orang-orang yang menyayangimu, Sar. Ada keluargamu,
sahabat-sahabatmu, teman-temanmu, ada aku juga! Apa itu semua kurang? Dia tidak
cukup berharga untuk air matamu.’ Aaron menghela napas panjang. ‘Ah dasar, anak
brengsek itu..’ Aaron mengambil beberapa helai tisu dan memberikannya ke Sara.
Membiarkan Sara mengeringkan pipinya yang sedari tadi dihujani air mata, menepuk
punggung Sara pelan dan tersenyum melihat temannya. ‘Sudah lega sekarang?’ Sara
hanya mengangguk kecil. ‘Jadi tetap kau yang membayar bill ini semua kan Sar-
AH SARA BRIANNA HENTIKAN CUBITANMU SAKIT SEKALI HENTIKAN IYA AKU YANG BAYAR!!’
Terimakasih Aaron Farouk.
TBC
Note: Tulisan lama yang tidak sengaja ditemukan kembali. To be continue, akan segeraa digarap kelanjutannya. Semoga cerita ini dapat selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar